Menggunakan
ejaan lama, buku yang ditulis oleh ulama kenamaan ini merupakan narasi historis
mengenai ajaran tasawuf, semenjak awal munculnya sampai abad kedelapan hijriah.
Pada bagian awal, diceritakan bagaimana latihan kerohanian Nabi Muhammad saw
sebelum beliau menjadi nabi. Misalnya Nabi saw sering berkhalwat di Gua Hira
untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk keduniaan.
Dikatakan
oleh Buya Hamka bahwa aktivitas Nabi menyendiri di gua telah membuatnya
menjadi pribadi yang berjiwa bersih dan kuat dalam menghadapi rintangan
hidupnya. Ini di kemudian hari menjadi wadah bagi nur (cahaya) Ilahi yang
dibawakan oleh Malaikat Jibril. Selain itu diceritakan pula kehidupan para
sahabat yang zuhud, seperti Ahlus Shuffah yang terkenal, Abu Dzar al-Ghiffari.
Sebagai
ajaran yang berkembang sesuai dengan semakin banyaknya pemeluk agama Islam itu
sendiri, tasawuf juga tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh dari luar Islam.
Terkait dengan ini Hamka lalu menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pengaruh
Nasrani, Hindu, Filsafat Yunani dan Persia yang masuk kedalam tasawuf. Ajaran
zuhud dalam tasawuf misalnya, dipengaruhi oleh kepercayaan Manu dari Persia.
Setelah
menerangkan berbagai kemungkinan keberpengaruhan ajaran luar Islam, Hamka lalu
menegaskan bahwa tasawuf dalam Islam mempunyai “telaganya sendiri” yakni dari al-Qur’an
dan Hadits. Meskipun begitu beliau tidak menolak adanya persamaan di antara berbagai aliran “rasa”
yang ada dalam berbagai agama. Alasannya, mereka sama-sama berusaha untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Hamka
melanjutkan pembahasannya mengenai perkembangan ajaran tasawuf itu sendiri
serta tokoh yang mengusung perspektif tertentu. Sebagai contoh, Hasan Bashri,
seorang tabi’in yang menjalani kehidupannya dengan khauf dan raja.
Khauf adalah rasa takut kepada Allah yang senantiasa dihadirkan ke dalam
jiwa sedangkan raja adalah rasa harap akan karunia Allah.
Keduanya
itu tidak boleh terpisah, mesti senantiasa berjalin dalam menjalankannya.
Kemudian Hamka menjelaskan tentang Rabiatul Adawiyah yang menjalani hidup zuhud
dengan fokus kepada cinta yang begitu murni kepada Allah. Saking cintanya dan
ingin bertemu dengan yang dicintai, tempat sujud Rabi’atul Adawiyah selalu
dibanjiri air mata.
Dua
tokoh di atas oleh penulis dijadikan pintu untuk memasuki alam tasawuf tokoh - tokoh
kenamaan. Pertama adalah Zun Nun al-Mishri yang memperkuat ajaran cinta Rabi’atul
Adawiyah dengan ma’rifah. Inti dari ma’rifah ini adalah bagaimana
seseorang bisa mengenal Tuhannya dengan baik. Yakni, melalui jalan pendekatan
diri kepada Allah sehingga akan terbukalah (kasyaf) batas-batas
kebatinan di alam ruh. Efeknya, seseorang akan mengenal Tuhan melalui Tuhan itu
sendiri.
Kemudian
ada al-Junaid yang memiliki keyakinan bahwa penderitaan batin dalam perjalanan
menuju Tuhan itu adalah kelezatan. Al-Junaid merupakan seorang sufi yang juga
memiliki pemahaman syari’at yang kuat dan tidak lupa untuk mencari nafkah
sebagai bekal hidupnya.
Al-Hallaj,
yang merupakan tokoh tasawuf kontroversial, cukup panjang dibahas oleh Hamka.
Al-Hallaj ini terkenal dengan tiga ajarannya, yaitu hulul yang merupakan
penjelmaan Ketuhanan ke dalam diri manusia, hakikat muhammadiyah yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari nur muhammad
dan kesatuan segala agama.
Setelah
al-Hallaj, diterangkan pula pasal kehidupan sufi terkenal, al-Ghazali.
Dikisahkan bahwa al-Ghazali benar-benar serius dalam mempelajari segalam macam
ajaran agama dan filsafat. Karena beliau, walaupun sudah memahami ilmu fiqh dan
berjasa pula dalam ilmu kalam, masih bertanya mengenai kebenaran yang
dipegangnya. Puncaknya beliau menemukan bahwa latihan rasa dalam tasawuf itu
yang mendekatkan diri kepada Tuhan, yang membawa manusia mengenal dan
memahaminya (ma’rifat). Sehingga al-Ghazali pun menulis risalahnya yang
mendapat tempat dalam dunia Islam hingga saat ini, Ihya Ulumuddin.
Al-Hallaj
mempunyai penerus di kemudian hari, yaitu Ibnu Arabi. Mulai pada masanyalah
istilah wahdatul wujud ( kesatuan seluruh eksistensi dalam eksistensi
Tuhan) menjadi populer. Bahwa seluruh wujud yang ada merupakan wujud Tuhan yang
Esa dan wujud yang ada itu merupakan manifestasi dari wujudnya Tuhan. Tidak ada
perbedaan di antara keduanya.
Selain
beberapa tokoh diatas Hamka juga membahasa tokoh-tokoh lainnya seperti Abu
Yazid Bustami, Syaikhul Isyraq Suhrawardi, Hafiz al-Shirazi, Jalaluddin Rumi
dan Abdurrahman Jami. Di samping itu, diterangkan pula alasan munculnya tarikat
sebagai sebuah usaha untuk mensistematisasi ajaran dari para sufi. Kemunduran
tasawufpun tidak lupa dibicarakan dimana salah satu alasannya adalah mulainya
berkembang faham mengkeramatkan wali sehingga muncullah ketakutan kepada sesama
manusia yang pada gilirannya menimbulkan takhayul dan khurafat.
Kelebihan
buku ini adalah kepadatan isinya. Walaupun berisi ringkasan dari ajaran
masing-masing tokoh sufi, Buya Hamka berhasil menghadirkan imajinasi pembaca mengenai
aplikasi ajarannya lewat penjelasannya yang gamblang dan mudah dicerna. Selain
itu, ajaran tokoh yang datang kemudian juga sering dihubungkan dengan
tokoh-tokoh sebelumnya sehingga perjalanan historis ajaran tasauf tampak terus
bersambung.
Di
sisi lain, pembaca yang haus akan ilmu akan merasakan kurangnya penjelasan yang
lebih jauh mengenai tarekat-tarekat yang berkembang, terutama yang populer di
nusantara. Padahal, jika dijelaskan, sebenarnya lebih mendekatkan pembaca
kepada dunia tasawuf yang terdapat di sekelilingnya. Misalnya perjalanan
Naqsabandiyah, Qadiriyah ataupun Syadziliyah yang berkembang di masyarakat.
Buku
Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad ini merupakan salah satu warisan ulama
nusantara yang besar. Di tengah-tengah banyaknya intrik-intrik antar golongan
Islam, buku ini sangat layak untuk dibaca generasi muda. Tujuan utamanya adalah
untuk memahami cara ulama tempo dulu dalam menilai sebuah aliran. Termasuk
bagaimana cara ia membandingkan dan menyelidiki tiap-tiap pendapat yang berseberangan
serta bagaimana ia mengambil kesimpulan. Sehingga yang dikedepankan pertama
kali adalah pemahaman, bukanlah penghakiman.
0 Comments