Di pertengahan
tahun 2019, saya melakukan serangkaian wawancara di sebuah desa dalam kawasan
Palabuhan Ratu, Banten. Di antara informannya adalah seorang perempuan, mantan
TKI yang telah bekerja di Arab Saudi selama sepuluh tahun. Dia bercerita
tentang pengalamannya selama berada di sana, seperti beban kerja dan sikap
majikan terhadapnya. Aspek yang paling menarik dari cerita ini adalah
keahliannya memasak makanan Arab.
Melihat
fakta bahwa ibu ini kemudian hidup sendiri sambil mengelola tanah yang dia beli
setelah pulang, saya menggali lebih dalam ceritanya, apakah dia berbagi
keterampilan dengan orang lain? Dia berkata, "belum ada kesempatan."
Saya tercengang karena keahliannya sangat bermanfaat untuk memperluas pilihan
kuliner yang tersedia di Palabuhan Ratu. Selain itu, karena kawasan itu sendiri
merupakan tempat wisata, akan menciptakan lapangan kerja bagi orang-orang
begitu satu atau lebih restoran Arab dibuka.
Menurut
saya, pemerintah Indonesia lebih fokus pada bagaimana mengintegrasikan mantan
pekerja migran ke dalam masyarakat begitu mereka kembali ke Indonesia. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah berupaya membangun serangkaian program untuk
membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja Indonesia.
Misalnya, mantan buruh migran didorong untuk mengelola tabungannya dengan
berinvestasi di tambak, sawah, dan sebagainya.
Kisahnya
membuat saya menyadari suatu celah yang ada pada keterampilan eks-TKI. Ibu ini
hanyalah seorang dari seribu mantan buruh migran yang pulang kampung dengan
satu keahlian khusus, membuat makanan Arab. Misalkan Indonesia memiliki 500 eks
TKI pada tahun 2021. Masing - masing memiliki keahlian dan pengalaman yang
berbeda. Bisa dibayangkan betapa menguntungkannya jika mereka mentransfer
ilmunya.
Sekarang,
mari kita lihat ilustrasi ini. Dalam teori perubahan yang sederhana, seseorang
dapat belajar bahwa dengan mengimplementasikan program X, dia dapat
menyelesaikan masalah Y, dan kemudian menciptakan dampak Z. Jika ibu tersebut mendapatkan
kesempatan untuk berbagi ilmu dalam pelatihan tentang makanan Arab, kemungkinan
besar dia akan dapat berkontribusi dalam mengurangi masalah “kurangnya
keterampilan" melalui hadirnya sekelompok koki makanan Arab yang terampil
siap bekerja.
Tentu
saja tidak sesederhana itu. Untuk mencapai dampak yang diinginkan dari pelatihan,
kemajuan setiap tahap harus diukur. Pada konteks ini, penyelenggara pelatihan
di atas (misalnya pemerintah) perlu memecah tahapan menjadi kerangka kerja
logis (dikenal sebagai “logframe”) yang terdiri dari masukan, keluaran, hasil,
dan dampak. Setiap tahapan diikuti dengan indikator, target, sarana verifikasi,
dan risiko dan asumsi dari setiap aspek tersebut. Pertimbangkan tabel di bawah
ini:
Tabel
di atas menunjukkan detil program pelatihan. Salah satu aspek yang
harus diperhatikan penyedia pelatihan adalah bagian risiko dan asumsi dari
logframe. Karena hasil yang diharapkan tidak akan muncul jika bagian ini
diabaikan. Sebaliknya, jika ditangani dengan bijak, program dapat berjalan
dengan lancar.
Mungkin
contoh pada tabel ini tidak sempurna, namun menggambarkan dengan jelas dampak
yang mungkin ditimbulkan oleh seorang mantan TKI. Dengan kata lain,
maksimalisasi keterampilan mantan TKI akan menciptakan peluang kerja bagi warga
negara Indonesia lainnya.
0 Comments