Gambar oleh khx199 dari Pixabay


Di pertengahan tahun 2019, saya melakukan serangkaian wawancara di sebuah desa dalam kawasan Palabuhan Ratu, Banten. Di antara informannya adalah seorang perempuan, mantan TKI yang telah bekerja di Arab Saudi selama sepuluh tahun. Dia bercerita tentang pengalamannya selama berada di sana, seperti beban kerja dan sikap majikan terhadapnya. Aspek yang paling menarik dari cerita ini adalah keahliannya memasak makanan Arab.

Melihat fakta bahwa ibu ini kemudian hidup sendiri sambil mengelola tanah yang dia beli setelah pulang, saya menggali lebih dalam ceritanya, apakah dia berbagi keterampilan dengan orang lain? Dia berkata, "belum ada kesempatan." Saya tercengang karena keahliannya sangat bermanfaat untuk memperluas pilihan kuliner yang tersedia di Palabuhan Ratu. Selain itu, karena kawasan itu sendiri merupakan tempat wisata, akan menciptakan lapangan kerja bagi orang-orang begitu satu atau lebih restoran Arab dibuka.

Menurut saya, pemerintah Indonesia lebih fokus pada bagaimana mengintegrasikan mantan pekerja migran ke dalam masyarakat begitu mereka kembali ke Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berupaya membangun serangkaian program untuk membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja Indonesia. Misalnya, mantan buruh migran didorong untuk mengelola tabungannya dengan berinvestasi di tambak, sawah, dan sebagainya.

Kisahnya membuat saya menyadari suatu celah yang ada pada keterampilan eks-TKI. Ibu ini hanyalah seorang dari seribu mantan buruh migran yang pulang kampung dengan satu keahlian khusus, membuat makanan Arab. Misalkan Indonesia memiliki 500 eks TKI pada tahun 2021. Masing - masing memiliki keahlian dan pengalaman yang berbeda. Bisa dibayangkan betapa menguntungkannya jika mereka mentransfer ilmunya.

Sekarang, mari kita lihat ilustrasi ini. Dalam teori perubahan yang sederhana, seseorang dapat belajar bahwa dengan mengimplementasikan program X, dia dapat menyelesaikan masalah Y, dan kemudian menciptakan dampak Z. Jika ibu tersebut mendapatkan kesempatan untuk berbagi ilmu dalam pelatihan tentang makanan Arab, kemungkinan besar dia akan dapat berkontribusi dalam mengurangi masalah “kurangnya keterampilan" melalui hadirnya sekelompok koki makanan Arab yang terampil siap bekerja.

Tentu saja tidak sesederhana itu. Untuk mencapai dampak yang diinginkan dari pelatihan, kemajuan setiap tahap harus diukur. Pada konteks ini, penyelenggara pelatihan di atas (misalnya pemerintah) perlu memecah tahapan menjadi kerangka kerja logis (dikenal sebagai “logframe”) yang terdiri dari masukan, keluaran, hasil, dan dampak. Setiap tahapan diikuti dengan indikator, target, sarana verifikasi, dan risiko dan asumsi dari setiap aspek tersebut. Pertimbangkan tabel di bawah ini:




Tabel di atas menunjukkan detil program pelatihan. Salah satu aspek yang harus diperhatikan penyedia pelatihan adalah bagian risiko dan asumsi dari logframe. Karena hasil yang diharapkan tidak akan muncul jika bagian ini diabaikan. Sebaliknya, jika ditangani dengan bijak, program dapat berjalan dengan lancar.

Mungkin contoh pada tabel ini tidak sempurna, namun menggambarkan dengan jelas dampak yang mungkin ditimbulkan oleh seorang mantan TKI. Dengan kata lain, maksimalisasi keterampilan mantan TKI akan menciptakan peluang kerja bagi warga negara Indonesia lainnya.