Kehidupan
orang Minang dalam kesehariannya dapat disederhanakan ke dalam tiga “au”,
yakni dangau, surau dan lapau. Dangau secara
harfiah merupakan tempat mengaso para petani apabila mereka lelah. Istilah ini
dapat menyimbolkan aktivitas pekerjaan. Sementara surau, merupakan
tempat kegiatan keagamaan, pertanda religiusitas orang Minang. Adapun lapau (kedai kopi, warung) merupakan tempat
bersosialisasi baik mulai dari sekedar nongkrong minum kopi, membicarakan
persoalan serius, hingga bermain domino dan koa (kartu
ceki).
Istilah
kedua, surau, menjadi perhatian para ahli yang menulis tentang Minangkabau.
Sejarawan Christine Dobbin dalam bukunya Islamic Revivalism in a
Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784- 1847 menyatakan bahwa
di pedesaan Minangkabau surau memegang peranan penting. Di sana para lelaki
yang sudah puber tinggal, menjauh dari rumah keluarganya yang ditempati
terutama oleh wanita dan anak- anak.
Dobbin
kemudian menghubungkan surau dengan biara Budha yang didirikan oleh Maharaja
Adityawarman tahun 1356 M di Bukit Gombak. Di biara ini para pemuda belajar
pengetahuan suci mengenai beragam persoalan sosial dan solusinya.
Ahli
lain R.A Kern dalam artikel ilmiahnya The Origin of the Malay Surau mencatat
kata pasuroan (suro), maknanya tempat beribadah orang Batak
kuno yang berlokasi di daerah tinggi. Menurutnya, kata suro pada
etnis Batak sama dengan istilah surau orang Minang. Pada masa Islam
surau di daerah Minangkabau
menjadi
seperti masjid namun tidak digunakan untuk shalat Jum’at.
Kern
lalu berkesimpulan bahwa surau sebetulnya tempat ibadah lama yang berpindah dan
digunakan oleh agama baru. Kern menambahkan bahwa surau sebagai tempat
keagamaan juga digunakan di semenanjung Malaya, termasuk Patani (sekarang masuk
teritorial Thailand).
Tidak
banyak informasi mengenai aktivitas surau di masa pra Islam. Kecuali bahwa
bangunan tersebut dan yang serupa dengannya merupakan tempat pemujaan para dewa
dan penghormatan terhadap nenek moyang dalam tradisi agama kuno.
Surau
pada perjalanannya mengalami proses Islamisasi. Hal ini terjadi seiring
meluasnya pengaruh Islam di Minangkabau hingga melahirkan falsafah adat
basyandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Setiap orang Minangkabau adalah
muslim. Apabila orang Minangkabau berkonversi ke agama lain maka dia dikenakan
pepatah dibuang sepanjang adat. Artinya, secara kultural dia
sudah tidak diterima sebagai orang Minangkabau lagi.
Sebagai
institusi pendidikan Islam, menurut keterangan Dobbin, surau setidaknya hadir
semenjak kedatangan tarekat sufi. Mereka fokus pada pembinaan batin serta
adaptif terhadap kultur Minangkabau kala itu. Penerimaan masyarakat membuat
mereka akhirnya mampu mengoperasikan surau besar (surau gadang).
Surau gadang diorganisasikan
sedemikian rupa supaya dapat menampung banyak murid. Bahkan ada surau yang memiliki 20 bangunan. Setiap
bangunan mempunyai seorang guru dan dihuni oleh murid yang datang dari tempat
berbeda. Untuk menghidupi diri, para murid ini menolong gurunya di
kebun dan sawah. Adakalanya mereka juga berjualan kecil- kecilan.
Dobbin
mencatat secara lebih rinci dunia surau. Permulaan aktivitas belajar setiap
murid adalah mengaji dalam arti bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Setelah itu
mereka belajar ilmu fiqh dengan kitab Minhaj ath-Thalibin. Kitab
ini menjadi standar dalam pengajaran fiqh seluruh surau tarekat sufi di
Minangkabau.
Terdapat
beberapa tempat yang terkenal dengan suraunya di masa silam. Sebagian surau
dari tarekat Naqshabandiyah di abad ke - 18 adalah Surau Taram, Surang
Cangkiang dan Surau Talawi.
Adapun
surau tarekat Syattariyah yang populer di luar Ulakan di antaranya adalah Surau
Kamang, Surau Koto Gadang dan Surau Koto Tuo. Menariknya, di surau tarekat
Syattariyah ini ada semacam spesialisasi disiplin ilmu. Misalnya disiplin
Bahasa Arab di Kamang, Mantik di Koto Gadang dan Tafsir di Koto Tuo.
Arti
surau dalam kehidupan Muslim Minangkabau secara tradisional sangat signifikan.
Khususnya bagi laki-laki, mereka mulai belajar di surau semenjak belia. Jeffrey
Hadler merekam pengalaman sastrawan Indonesia klasik Nur Sutan Iskandar dalam
bukunya Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam dan
Kolonialisme di Minangkabau.
Iskandar
kecil diserahkan orang tuanya untuk dididik di surau sebelum berusia enam
tahun. Ayahnya meminta guru di surau untuk mengajarinya al-Qur’an. Pendidikan
Iskandar kecil di institusi surau ini disertai dengan paket cambuk dari lidi
kelapa untuk mengajarinya apabila nakal.
Hadler
juga mencatat pengalaman lainnya mengenai rutinitas anak terkait surau. Setelah
sekolah pagi mereka akan bermain lalu makan malam di rumah ibu masing-masing. Setelah magrib
mereka akan ke surau lalu belajar al-Qur’an hingga waktu shalat Isya.
Anak-anak
di surau juga mengajak pria menikah untuk bermalam disurau supaya dapat
menceritakan dunia orang dewasa. Orang pulang merantau pun menjadi “guru” anak
- anak itu. Mereka akan mendengarkan cerita tentang tempat asing darinya.
*Foto: Surau Bateh Tarekat Naqsabandiah, terletak di Taeh Baruah, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat
1 Comments
Sudah jarang orang² zaman sekarang peduli terhadap hal² seperti ini bg. Saya tunggu tulisan selanjutnya bg