ENTAH mengapa isu
Partai Komunis Indonesia (PKI) ini terus menerus hadir ke permukaan. Padahal
secara hukum sudah tidak bisa lagi beraktivitas di Indonesia semenjak
berlakunya TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966. Artinya ruang gerak bagi PKI praktis
sudah tidak ada lagi.
Berkegiatan secara
underground pun sepertinya sulit. Selain masalah hukum, secara kultural
pemerintahan Soeharto juga menggalakkan film G/30S setiap tahun. Ini membuat
masyarakat senantiasa waspada akan setiap hal yang mencurigakan. Apalagi dengan
sempatnya buku-buku yang dinilai berbau komunisme dilarang kala itu. Jangankan
menjadi anggota PKI, menjadi komunis saja sulit.
Situasi ini
menimbulkan pertanyaan. Kalau mereka betul-betul ada, mana buktinya? Kalau yang
muncul hanya bendera itu bisa disablon siapapun. Jika yang tampak akun media
sosial atas nama PKI, itu juga bisa dibuat oleh siapa saja yang mengerti
Internet. Bisa jadi mereka adalah orang yang ingin menakut-nakuti masyarakat
atau berniat menimbulkan keributan.
Hal ini membuat
sebagian orang sulit untuk mempercayai bahwa PKI dan komunisme bangkit dan
mereka mengancam negara. Orang yang pernah berkecimpung di organisasi pemuda,
mahasiswa dan pelajar cukup mengerti. Betapa susahnya merekrut kader,
mengorganisasikan anggota termasuk menjalankan sebuah agenda bersama. Sebagai
mantan pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) saya juga menyadari hal ini.
Masuk PII aja orang masih berpikir, apalagi masuk PKI.
Orang yang percaya
kebangkitan komunisme biasanya akan berbicara mengenai bahaya laten. Bahwa
mereka berpotensi untuk muncul kembali. Ya, kalau begitu, semua hal yang
membahayakan juga berpotensi untuk hadir kembali. Termasuk juga gerakan-gerakan
yang pernah ingin memisahkan diri dari NKRI.
Orang di atas biasanya
akan memberikan tanggapan, komunisme itu kan ideologi, bertahan dalam pikiran.
Pada tahapan ideologinya kita bisa bersepakat. Namun perihal bagaimana dia
mempelajari ideologi itu menjadi poin penting. Tidaklah mudah mempelajari
sebuah ideologi, apalagi ideologi itu dilarang negara.
Di era kebebasan
informasi saat ini sesuai petunjuk TAP MPRS yang disebutkan diawal, pada pasal
tiga, mempelajari Komunisme dan
variannya hanya bisa dalam rangka kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu seseorang sah
saja membaca buku lama karya Marx, Aidit, Semaun dan sebagainya. Dan ketika
menjumpai buku-buku sejenis saya betul-betul merasakan bahwa sulit untuk
memahami apa itu komunisme.
Misalnya saja, kita
harus memahami Marxisme dengan memulainya melalui filsafat materialisme.
Sebelum menuju kesana harus dipahami
barang apa yang dinamai dengan filsafat. Di poin filsafat saja sudah
banyak orang yang KO saking rumitnya pembahasan dan sekian banyak pikiran yang
mesti dipahami semenjak zaman Datuk Sokrates, Mbah Aristoteles hingga Tan Sri
Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas. Mulai dari Filsafat kaum Sophis, Filsafat
Tiongkok hingga Filsafat Islam.
Baru kemudian masuk
kedalam materialismenya yang tentunya berbeda dengan ungkapan matre ala jaman
now. Di sini dapat ditemukan lagi kerumitan, ternyata ada pula yang disebut
dengan materialisme mekanis. Lebih dari itu, mesti memahami pula apa yang
dimaksud dengan materialisme ilmiah.
Apakah memahami
filsafat materialisme sudah cukup untuk jadi komunis? Oh ternyata belum kawan.
Orang harus belajar lagi apa yang disebut dengan dialektika. Tentu saja yang
dimaksud bukanlah dialektika dalam arti penalaran atau berdialog dengan lawan
bicara untuk mengurai suatu persoalan.
Sederhananya,
dialektika merupakan cara berpikir bahwa segala sesuatu terhubung dan terdapat
gejala-gejala perkembangannya. Dalam dialektika juga terdapat misalnya hukum
kontradiksi dan juga hukum perubahan dari kuantitatif menjadi kualitatif.
Filsafat
materialisme dan dialektika inilah yang kemudian digunakan untuk membaca
kondisi objektif perkembangan masyarakat. Utamanya mengenai aspek ekonomi.
Siapa yang menguasai alat produksi, seberapa besar individu menguasai lahan
hajat hidup orang banyak dan seterusnya.
Kemudian didapatlah
kategori, apabila yang menguasai banyak tanah misalnya adalah para bangsawan,
maka masyarakat masih berada dalam zaman feodalisme. Apabila yang menguasainya
beberapa individu saja, sementara yang lain menguras tenaga untuk mereka
disebut dengan kapitalisme.
Kerumitan ini
bertambah, ternyata dalam komunisme juga terdapat coraknya. Misalnya menjadi
Maoisme di Tiongkok dan Leninisme di Uni Soviet. Dan menjadi komunis di Indonesia harus
menemukan coraknya sendiri karena kondisi ekonomi dan politik yang dihadapinya
berbeda.
Uraian pendek ini
cukuplah untuk menggambarkan bahwa menjadi seorang komunis itu tidaklah mudah. Yo
bana barek (minang: sungguh berat). Walaupun seseorang sudah khatam semua
hal tentang komunisme, tetap saja ada aspek yang lebih penting lainnya untuk
menghalanginya. Minimal agamanya.
Orang yang religius
atau setidaknya berproses dalam agamanya akan sulit untuk menjadi komunis
seutuhnya. Sebab terdapat demarkasi dalam pandangan dunianya (worldview).
Komunisme tidak mengurusi spiritualitas seseorang karena berbasiskan materialisme.
Dan diskursus materialisme hanya ada pada dunia yang fana ini saja.
Sementara itu orang
beragama, selain harus memikirkan dunianya dia wajib juga beramal untuk
kehidupan setelah dia meninggal. Dia harus mempersiapkan dirinya untuk bisa
menempati posisi yang baik di akhirat nantinya. Pada akhirnya, kalaupun ingin,
wacana komunisme yang dia pahami hanya digunakan untuk menganalisa perkembangan
ekonomi dan politik yang tengah berlangsung.
Jika dia temukan
masyarakat yang miskin atau anak yatim yang terlantar, perbuatan yang dia
lakukan untuk membantu mereka bukanlah karena dia mempelajari komunisme. Akan
tetapi karena panggilan surat al Ma’un yang dipahaminya dalam Al Qur’an.
Sumber foto: Wikimedia Commons
0 Comments