Gambar oleh Ozant Liuky dari Pixabay
Tidak lazim bagi warga Nagari Andiang, salah satu desa di Kabupaten Limapuluh Kota, seperti saya mengambil jalan serong kiri apabila hendak menuju Kota Payakumbuh. Biasanya terus lurus melalui jalan Tan Malaka hingga mentok. Namun kali ini lain, saya betul-betul berniat shalat Jum’at di sebuah masjid lama yang tempo hari saya lihat.
Saya menganggap masjid lama sebab letaknya menjorok ke dalam
setelah melalui beberapa petak kolam ikan. Berbeda dengan kebanyakan masjid
hari ini yang langsung berada di pinggir jalan. Masjid itu dikelilingi pula
oleh pohon kelapa nan tinggi menjulang. Ditambah lagi dengan sejumlah petak kolam ikan di kiri-kanan menuju masjid.
Benar-benar pemandangan yang menyejukkan.
Setelah bertanya pada salah seorang kakek - kakek, ternyata memang masjid lama.
Katanya, jalan menuju masjid diperbaiki ketika perang PRRI bergolak. Dan masjid
itu terletak di sebuah nagari (institusi pemerintahan
setingkat desa di Jawa) bernama Jepang, Kabupaten 50 Kota. Orang lokal menyebutnya
dengan Jopang, atau Jopang Manganti. Kata yang sama juga digunakan untuk
menyebut negara Matahari Terbit.
Sewaktu duduk di parkiran sebelum masuk untuk shalat Jum’at, saya
sempat nguping obrolan seorang kakek tua dengan beberapa orang kawannya. Sambil
tertawa dia mengatakan kulitnya sudah bau tanah. Temannya menimpali, bukan bau
tanah liat kan? Saya tertegun. Dengan istilah bau tanah sang kakek bercerita dengan
santai perihal usianya yang sudah sangat lanjut. Agaknya dia sudah siap bila
suatu saat Malaikat Izrail datang dan menyapanya. Saya berpikir, sudah siapkah
diri ini menghadapi kematian? Ngeri ngeri sedap juga memikirkannya.
Begitu khutbah Jum’at berlangsung, saya mendengarkan dengan
seksama. Awalnya terasa biasa saja ketika sang Khatib bercerita mengenai jiwa dengan
merujuk kepada Imam Al Ghazali. Sebab ulama yang hidup di abad ke 12 M itu
memang menjadi salah referensi utama orang Islam yang bermazhab Sunni.
Namun begitu khatib mengutip pendapat Plato mengenai jiwa, saya
tercengang. Memang keren ini khatib. Sebab biasanya nama sang filsuf Yunani
hadir dalam diskursus filsafat yang membuat rambut rontok satu persatu. Lebih unik lagi, sosok ini hadir di masjid yang berjarak
sekitar 4 hingga 5 jam dari Padang, tempat kampus - kampus top Sumatera Barat berdiri dengan gagah.
Dan jamaah yang hadir saya kira adalah bapak - bapak yang kesehariannya bertani, berdagang atau
maksimal berkantor sebagai ASN. Benar-benar luar biasa.
Saya merenung, di kampus saya dulu UIN Sunan Kalijaga, para dosen
bicara tentang integrasi ilmu, setidaknya dalam makna disiplin keilmuan Islam
berdampingan ilmu - ilmu yang (dianggap) datang dari luar Islam. Di dalam bahasa yang berbeda, konsep
tersebut juga bisa dimaknai bagaimana
tradisi intelektual Islam berdialog dengan tradisi intelektual modern yang
berkembang dan muncul dari Barat. Di sini, di kampung halaman, sang Buya bicara
khazanah Islam dan Yunani kuno dalam suatu sesi khutbah. Suatu contoh sederhana
dan praktis dari kerumitan konsep integrasi ilmu.
Situasi ini sekaligus mengingatkan saya tentang kawan - kawan dari luar Minang yang suka
bertanya. Misalnya mengapa nama orang Minang unik, tidak ada semacam identitas
dengan o atau a ala Jawa dan Sunda. Pertanyaan
ini wajar karena ada penyanyi dangdut Beniqno yang
barangkali namanya diambil dari Benigno Aquino tokoh Filipina, peneliti CSIS
Philip Vermonte dan juga politisi yang tengah naik daun Faldo Maldini. Bahkan teman sekolah penulis dulu ada yang mempunyai nama latin seperti Martina,
Ricardo dan Fernandez.
Namun jangan heran kawan, di masjid kampung saja
khatib bicara Plato, sang filsuf Yunani dari abad antah berantah ketika nenek
moyang orang Minang Iskandar Zulkarnain (kalau benar dia adalah Alexander the
Great) belum berguru kepada Aristoteles. Sementara masyarakat menikmati buah
pikir Buya Hamka hingga telenovela. 😊
0 Comments