Salah satu yang paling mendasari
segala aktivitas manusia adalah kesadaran. Hal ini juga yang membedakan antara
manusia dengan makhluk lainnya. Konten kesadaran utama manusia adalah hasrat
dan keyakinan. Kedua hal inilah yang menyebabkan munculnya perilaku. Menurut
Alexander Rosenberg, dalam bukunya Philosophy of Social Science, ketiga
komponen ini berkaitan satu sama lain.
Teori kesadaran representasional yang
disebut oleh William Seager menyatakan bahwa kesadaran berhubungan dengan
konten fikiran yang secara alamiah terbagi ke dalam dua bentuk. Pertama, intentional
state yaitu kesadaran disengaja yang bersifat representatif dari hal yang
ada difikiran. Misalnya, niat, keinginan, dan harapan. Bentuk kedua adalah non
intentional state, yakni keadaan yang tidak disengaja berupa kondisi mental
meliputi pengalaman perseptual yang bukan representasi dari hal-hal tertentu
seperti sakit, mood, sensasi dan sebagainya.
Saat melihat suatu objek, fikiran
seseorang akan secara otomatis memprosesnya sehingga dia akan tahu bagaimana
menangani objek yang dia lihat tersebut. Misalnya, ketika seseorang berjumpa
dengan orang baru, orang tersebut akan berfikir apakah dia akan berkenalan lalu
berteman dengan orang yang dia jumpai tersebut atau tidak. Ataupun hanya
sekedar bersalaman saja.
Demikian pula ketika dia melihat
suatu iklan. Jika merasa tertarik dia akan membacanya dengan utuh. Yakin dengan
tawaran iklan tersebut maka dia akan mengambil produknya. Sebaliknya, apabila
dia tertarik maka dia akan meninggalkannya begitu saja.
Pertanyaannya, mengapa manusia
bertingkah laku berbeda terhadap objek yang sama? Pada poin ini intensionalitas
memainkan perannya. Sebab setiap manusia mempunyai intensionalitas yang
berbeda.
Intensionalitas dalam konteks folk
psychology setidaknya memiliki tiga konten yaitu hasrat, keyakinan dan
perilaku. Ketika seseorang memiliki keyakinan yang berbeda maka dia akan
berhasrat untuk hal yang berbeda pula. Dengan demikian, berbeda pula tingkah
laku yang dijalankannya. Ketika susunan argumentasi ini diubah, hasilnya akan
sama. Ketika seseorang memiliki hasrat yang berbeda, maka dia akan berbuat
sesuai dengan tingkat keyakinan terhadap apa yang dia hasratkan.
Pada situasi sosial politik yang
lebih luas oleh Paulo Freire kesadaran (intensionalitas) dibagi menjadi tiga
tahap, magical consciousness, naive consciousness dan critical
consciousness. Magical consciousness (kesadaran magis) merupakan
keadaan dimana seseorang merasa lemah dan dia kagum atas situasi yang dibuat
oleh orang yang membuatnya merasa lemah. Meskipun dalam situasi ini seseorang
merasa miskin atas kebijakan politik penguasa dia akan merasa situasi tersebut
normal saja.
Tahap berikutnya, naive
consciousness (kesadaran naif), adalah sebuah kondisi dimana seseorang
sudah menyadari kondisi yang menimpanya, dan dia sudah mengenali individu
penyebab (penindas) kondisi tersebut. Namun, antara orang yang menyadari ini
belum mengorganisasikan dirinya. Pilihannya mereka melawan penindas atau mereka
malah menyerupai orang yang menindas mereka.
Tahap terakhir adalah critical
consciousness (kesadaran kritis) di mana sekumpulan individu telah memahami
sistem politik, sistem sosial yang memampukan mereka membaca fungsi normal dan
tidak normal dalam situasi tertentu.
Konsep kesadaran di atas membuat kita
dapat membaca dinamika intensionalitas individu ataupun masyarakat dalam
situasi sosial tertentu. Di dalam kehidupan negara yang diktator, tentu ada
bagian kelompok masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pemimpinnya, misalnya
kemiskinan.
Tingkah laku masyarakat dalam
merespon situasi tersebut dapat dianalisa apakah mereka berada dalam kesadaran
magis, naif ataukah kritis. Apabila masyakaratnya hanya diam saja maka mereka
masih dalam kondisi kesadaran magis. Sebab mereka melihat kemiskinan mereka
sebagai takdir, bukan disebabkan oleh kebijakan pemimpin yang diktator.
Keyakinan mereka yang sedemikan rupa menyebabkan mereka tidak berhasrat untuk
melakukan perubahan atas kondisi mereka.
Lain halnya apabila mereka sudah
memiliki kesadaran yang kritis. Mereka akan melihat bahwa masalah yang menimpa
mereka diakibatkan oleh sistem yang rusak dan kebijakan yang salah. Oleh sebab
itu mereka akan menempuh jalan mengorganisir diri untuk “melawan” kepada
penguasa.
Jalan itu mereka tempuh lantaran
telah melakukan evaluasi tertentu sehingga hasrat ingin melakukan perubahan
muncul. Keyakinan bahwa perubahan dapat dilakukanlah yang mendorong mereka
untuk melakukan aksi perlawanan kepada penguasa.
Berdasarkan paparan ringkas di atas
dapat dilihat bahwa konsep intensionalitas dapat menjelaskan perilaku manusia.
Sebab interrelasi antara kondisi, keyakinan dan hasrat yang ada pada manusia
yang mendorong manusia untuk bertingkah laku. Dengan kata lain, tingkah laku
tidak muncul tanpa adanya dinamika dari ketiga hal tersebut. Oleh sebab itu,
untuk menjelaskan tingkah laku manusia, mesti dilihat konteksnya serta dinamika
intensional apa yang berkembang pada individu terkait.
0 Comments