Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Salah satu yang paling mendasari segala aktivitas manusia adalah kesadaran. Hal ini juga yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Konten kesadaran utama manusia adalah hasrat dan keyakinan. Kedua hal inilah yang menyebabkan munculnya perilaku. Menurut Alexander Rosenberg, dalam bukunya Philosophy of Social Science, ketiga komponen ini berkaitan satu sama lain.

Teori kesadaran representasional yang disebut oleh William Seager menyatakan bahwa kesadaran berhubungan dengan konten fikiran yang secara alamiah terbagi ke dalam dua bentuk. Pertama, intentional state yaitu kesadaran disengaja yang bersifat representatif dari hal yang ada difikiran. Misalnya, niat, keinginan, dan harapan. Bentuk kedua adalah non intentional state, yakni keadaan yang tidak disengaja berupa kondisi mental meliputi pengalaman perseptual yang bukan representasi dari hal-hal tertentu seperti sakit, mood, sensasi dan sebagainya.

Saat melihat suatu objek, fikiran seseorang akan secara otomatis memprosesnya sehingga dia akan tahu bagaimana menangani objek yang dia lihat tersebut. Misalnya, ketika seseorang berjumpa dengan orang baru, orang tersebut akan berfikir apakah dia akan berkenalan lalu berteman dengan orang yang dia jumpai tersebut atau tidak. Ataupun hanya sekedar bersalaman saja.

Demikian pula ketika dia melihat suatu iklan. Jika merasa tertarik dia akan membacanya dengan utuh. Yakin dengan tawaran iklan tersebut maka dia akan mengambil produknya. Sebaliknya, apabila dia tertarik maka dia akan meninggalkannya begitu saja.

Pertanyaannya, mengapa manusia bertingkah laku berbeda terhadap objek yang sama? Pada poin ini intensionalitas memainkan perannya. Sebab setiap manusia mempunyai intensionalitas yang berbeda.

Intensionalitas dalam konteks folk psychology setidaknya memiliki tiga konten yaitu hasrat, keyakinan dan perilaku. Ketika seseorang memiliki keyakinan yang berbeda maka dia akan berhasrat untuk hal yang berbeda pula. Dengan demikian, berbeda pula tingkah laku yang dijalankannya. Ketika susunan argumentasi ini diubah, hasilnya akan sama. Ketika seseorang memiliki hasrat yang berbeda, maka dia akan berbuat sesuai dengan tingkat keyakinan terhadap apa yang dia hasratkan.

Pada situasi sosial politik yang lebih luas oleh Paulo Freire kesadaran (intensionalitas) dibagi menjadi tiga tahap, magical consciousness, naive consciousness dan critical consciousness. Magical consciousness (kesadaran magis) merupakan keadaan dimana seseorang merasa lemah dan dia kagum atas situasi yang dibuat oleh orang yang membuatnya merasa lemah. Meskipun dalam situasi ini seseorang merasa miskin atas kebijakan politik penguasa dia akan merasa situasi tersebut normal saja.

Tahap berikutnya, naive consciousness (kesadaran naif), adalah sebuah kondisi dimana seseorang sudah menyadari kondisi yang menimpanya, dan dia sudah mengenali individu penyebab (penindas) kondisi tersebut. Namun, antara orang yang menyadari ini belum mengorganisasikan dirinya. Pilihannya mereka melawan penindas atau mereka malah menyerupai orang yang menindas mereka.

Tahap terakhir adalah critical consciousness (kesadaran kritis) di mana sekumpulan individu telah memahami sistem politik, sistem sosial yang memampukan mereka membaca fungsi normal dan tidak normal dalam situasi tertentu.

Konsep kesadaran di atas membuat kita dapat membaca dinamika intensionalitas individu ataupun masyarakat dalam situasi sosial tertentu. Di dalam kehidupan negara yang diktator, tentu ada bagian kelompok masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pemimpinnya, misalnya kemiskinan.

Tingkah laku masyarakat dalam merespon situasi tersebut dapat dianalisa apakah mereka berada dalam kesadaran magis, naif ataukah kritis. Apabila masyakaratnya hanya diam saja maka mereka masih dalam kondisi kesadaran magis. Sebab mereka melihat kemiskinan mereka sebagai takdir, bukan disebabkan oleh kebijakan pemimpin yang diktator. Keyakinan mereka yang sedemikan rupa menyebabkan mereka tidak berhasrat untuk melakukan perubahan atas kondisi mereka.

Lain halnya apabila mereka sudah memiliki kesadaran yang kritis. Mereka akan melihat bahwa masalah yang menimpa mereka diakibatkan oleh sistem yang rusak dan kebijakan yang salah. Oleh sebab itu mereka akan menempuh jalan mengorganisir diri untuk “melawan” kepada penguasa.

Jalan itu mereka tempuh lantaran telah melakukan evaluasi tertentu sehingga hasrat ingin melakukan perubahan muncul. Keyakinan bahwa perubahan dapat dilakukanlah yang mendorong mereka untuk melakukan aksi perlawanan kepada penguasa.

Berdasarkan paparan ringkas di atas dapat dilihat bahwa konsep intensionalitas dapat menjelaskan perilaku manusia. Sebab interrelasi antara kondisi, keyakinan dan hasrat yang ada pada manusia yang mendorong manusia untuk bertingkah laku. Dengan kata lain, tingkah laku tidak muncul tanpa adanya dinamika dari ketiga hal tersebut. Oleh sebab itu, untuk menjelaskan tingkah laku manusia, mesti dilihat konteksnya serta dinamika intensional apa yang berkembang pada individu terkait.